Jumat, 17 Juni 2011

Beranda » TENTANG RABIES

TENTANG RABIES

1.    Pendahuluan
Penyakit rabies atau yang dikenal masyarakat disebut penyakit Anjing gila merupakan penyakit zoonosa menyerang susunan syaraf pusat, sangat berbahaya bagi hewan dan manusia karena selalu menyebabkan kematian bila gejala penyakit timbul.
Rabies ini telah tersebar di seluruh dunia dan tidak mengenal strata negara baik negara berkembang maupun negara maju seperti Inggris, Swedia, New Guinea, Jepang, Malaysia, Taiwan, hongkong termasuk Indonesia.
Berdasarkan laporan OIE (Organization International des Epizooties) menyatakan bahwa penyakit Rabies di negara berkembang merupakan urutan nomor 2 (dua) yang paling ditakuti wisatawan mancanegara setelah penyakit malaria.
Jawa Barat salah satu daerah yang 4 (empat) tahun terakhir ini tidak ditemukan lagi kasus positif pada hewan, dimana kasus terakhir pada tahun 2001 ditemukan di Desa Warungdoyong Cikole, Kota Sukabumi, dan Desa Girimukti, Sindangberang, Cianjur.
Upaya yang telah dilaksanakan adalah melalui pembenahan organisasi dari tingkat Kecamatan (Tikor) sampai ke tingkat Propinsi dengan penerapan metoda Local Area Specific Problem Solving dengan pusat pemberantasan di tingkat desa serta melakukan tindakan vaksinasi bagi anjing piaraan dan melakukan eliminasi bagi anjing liar.
Kegiatan ini telah dilaksanakan sejak tahun 1991 dan telah diperbaharui dengan adanya surat keputusan bersama Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PPM dan PLP), Direktur Jenderal Peternakan dan Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah tanggal 6 April 1999.
Dalam rangka sosialisasi akan bahaya Rabies pemerintah daerah Jawa Barat telah melakukan gerakan dengan komando langsung Gubernur Jawa Barat dengan jajarannya sampai ke tingkat desa dengan menggerakan seluruh aparat terkait termasuk unsur penerangan, Majelis Ulama, sektor Pariwisata dan unsur lainnya yang dapat menggerakan seluruh masyarakat pada semua lapisan.

2.    Dasar Hukum

2.1.    Undang-Undang No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan.
2.2.    Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1997 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan.
2.3.    Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983 Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner.
2.4.    Surat Keputusan Bersama 3 Menteri Tahun 1978 (SK Menkes No. 279A, Mentan No. 522, Mendagri No. 143) tentang Peningkatan Pemberantasan dan Penanggulangan Rabies.
2.5.    Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 487/Kpts/Um/6/1981 Tahun 1981 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan Menular.
2.6.    Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1096/Kpts/Kucing, Kera dan Hewan sebangsanya ke Wilayah/Daerah Bebas Rabies di Indonesia.
2.7.    Surat Keputusan Bersama 3 Direktur Jenderal Tahun 1989 (SK Dirjen PUOD No. 443.4-531, Dirjennak No. 234, Dirjen PPM&PLP No. Agno.366.I/PD.03.04) tentang Pelaksanaan Kegiatan Pembebasan Rabies di Daerah Pulau Jawa dan Kalimantan sekaligus pembebasan Rabies se Pulau Jawa dan Kalimantan sekaligus pembebasan Pulau Sumatera dan Sulawesi, 3 Direktur Jenderal Tahun 1999 (Dirjen PPM&PLP No.KS.00-01-1.1554, Dirjennak No. 99, Dirjen PUOD No.443.2-270) tentang Plekasanaan Kegiatan Pembebasan dan Mempertahankan Daerah Bebas Rabies di Wilayah Republik Indonesia.
2.8.    Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan nomor 103/TN.510/Kpts/DJP Tahun 1998 tentang jenis-jenis Penyakit Hewan Menular yang mendapat Prioritas Pengendaliannya.
2.9.    Surat Keputusan Direktur Jenderal Produksi Peternakan Nomor.95/TN.120/Kpts/DJP/Deptan Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pemasukan Anjing, Kucing, Kera dan Hewan sebangsanya dari Negara, Wilayah/Daerah Bebas Rabies ke Wilayah/Derah Bebas Rabies di Indonesia.

3.    Tujuan
Mempertahankan Propinsi Jawa Barat Bebas Rabies

4.    Sifat Alami Penyakit Rabies

4.1.    Sejarah Rabies
Di Indonesia Rabies pertama kali dilaporkan pada kerbau oleh Esser (1884), kemudian oleh Penning pada anjing (1889) dan oleh E.V. de Haan pada manusia (1894). Selanjutnya selama pendudukan Jepang situasi daerah tertular Rabies tidak diketahui dengan pasti, namun setelah Perang Dunia Ke-II peta Rabies di Indonesia berubah. Secara kronologis tahun kejadian penyakit Rabies mulai di Jawa Barat (1948), Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), DI. Aceh (1970), Jambi dan Yogyakarta (1971), Bengkulu, DKI Jakarta dan Sulawesi Tenggara (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), Kalimantan Tengah(1978), Kalimantan Selatan (1983) dan P. Flores (1997). Pada akhir tahun 1997, wabah Rabies muncul di Kabupaten Flores Timur – NTT sebagai akibat pemasukan secara illegal anjing dari Pulau Buton – Sulawesi Tenggara yang merupakan daerah endemik Rabies. Sampai dengan saat ini selain beberapa propinsi di Kawasan Timur Indonesia yang tersebut di atas pulau-pulau kecil di sekeliling Pulau Sumatera masih dinyatakan bebas Rabies.

4.2.    Epidemiologi
Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus, bersifat akut serta menyerang susunan syaraf pusat hewan berdarah panas dan manusia. Rabies bersifat zoonosa artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dengan gejala yang sangat memilukan. Virus Rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan disebabkan melalui gigitan atau jilatan.

Etiologi
Virus Raabies adalah golongan Mononegavirales, Family Rhabdoviridae, genus Lyssavirus. Family Rahbdoviridae dibagi dalam dua golongan yaitu Vesiculovirus yang terdiri dari virus penyebab vesicular Stomatitis dan Lyssavirus yang terdiri dari Rabies.

4.3.    Hewan Peka
Pada umumnya semua hewan berdarah panas dapat terserang dan menularkan Rabies. Di Indonesia anjing, kucing dan kera/monyet berpotensi menularkan Rabies.

4.4.    Cara Penularan
Di Indonesia, terutama di daerah-daerah pedesaan yang sering terjaddi kasus penyakit, hinggas saat ini belum ada kasus Rabies baik pada hewan maupun manusia yang ditularkan melalui saluran pernafasan.
        
Virus Rabies masuk ke dalam tubuh manusia atau hewan melalui :
a.    Luka gigitan hewan penderita Rabies
b.    Luka yang terkena air liur hewan atau manusia penderita Rabies

4.5.    Kejadian Rabies di lapangan
Kejadian (kasus) positif Rabies di lapangan ditentukan atau dipengaruhi sekurang-kurangnya oleh 3 (tiga) hal sebagai berikut :
4.5.1.    Pola Penggigitan
Ada 2 pola penggigitan oleh anjing terhadap manusia yang lazim terjadi di daerah-daerah pedesaan yaitu :

-    Penggigitan karena ada Provokasi :
Penggigitan yang terjadi di sini didahului oleh adanya gangguan langsung atau tidak langsung. Pada anjing yang sedang beranak biasanya naluri untuk melindungi anaknya sangat kuat sehingga sangat mudah sekali anjing menyerang dan menggigit apalagi kalau diganggu.
Bentuk-bentuk “provokasi” terhadap anjing sangat beragam dari mulai memukul, menyeret ekor sampai dengan menggoda anjing yang sedang tidur. Hal tersebut akan menstimulasi anjing untuk menggigit. Bahkan pada kejadian lain orang membawa makanan yang lewat di depan anjing yang sedang lapar dapat memicu terjadinya penggigitan.
Penggigitan-penggigitan yang disebabkan oleh adanya provokasi apalagi dilakukan dengan sengaja, tidak menjadi persoalan serius dalam kejadian Rabies di lapangan. Walaupun tetap harus diwaspadai melalui kegiatan observasi, apalagi diketahui anjing tersebut belum divaksin.

-    Penggigitan tanpa Provokasi
Dalam hal ini anjing menyerang dan menggigit secara tiba-tiba tanpa adanya gangguan dalam bentuk apapun. Di lapangan, anjing yang menggigit secara tiba-tiba tadi biasanya sudah menjadi “wandering-dog” atau anjing “lontang-lantung” yang berjalan tanpa tujuan dan menyerang serta menggigit siapa saja yang ditemuinya. Anjing tersebut biasanya adalah anjing liar atau anjing-anjing peliharaan yang ditelantarkan sehingga menjadi liar.
Anjing-anjing yang menggigit tanpa provokasi inilah yang banyak menimbulkan persoalan dalam kejadian Rabies di lapangan. Apalagi kalau menggigit lebih dari satu orang, berdasarkan pengamatan pasti positif Rabies.

4.5.2.    Pola Penyebaran
Penulaaran Rabies di lapangan (rural Rabies) berawal dari suatu kondisi anjing yang tidak dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan cirri khas yang ada di pedesaan yang berkembang sangat fluktuatif dan sulit dikendalikan. Suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah dapat bertahan menjadi daerah endemis. Secara alami dan yang sering terjadi pola peenyebaran Rabies.

Pada umumnya manusia merupakan “dead end” atau terminal akhir dari korban gigitan. Karena sampai saai ini belum ada kasus manusia menggigit anjing. Baik anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar maupun anjing pelihara, setiap saat dapat menggigit manusia. Sementara itu anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar dan anjing pelihara dapat saling menggigit satu sama lain. Kalau salah satu diantara anjing yang menggigit tersebut positif Rabies, maka akan terjadi kasus-kasus positif (+) Rabies yang semakin tinggi.

4.6.    Tipe dan Tanda-Tanda Penyakit pada Hewan/Manusia

4.6.1.    Tipe Rabies

a.    Rabies Ganas :
-    Tidak menuruti lagi perintah pemilik
-    Air liur keluar berlebihan
-    Hewan menjaadi ganas, menyerang atau menggigit apa saja yang ditemui dan ekor dilengkungkan ke bawah perut di antara dua paha
-    Kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4 – 7 hari sejak timbul gejala atau paling lama 12 hari setelah penggigitan

b.    Rabies Tenang :
-    Bersembunyi di tempat gelap dan sejuk
-    Kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat
-    Kelumpuhan, tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan
-    Kematian terjadi dalam waktu singkat

4.6.2.    Tanda Rabies Pada Hewan

1.    Anjing :
Menggonggong menyerang secara tiba-tiba, anjing tidak lagi mengenal tuannya, banyak mengeluarkan air liur, menggigit segala sesuatu, kesulitan melihat, berjalan tanpa arah, rahang turun, tidak mampu menelan, makan tanah dan batang kayu, sukar bernafas, muntah, susah berjalan, kelumpuhan, ekor menggantung, terletak di antara kaki belakang.

2.    Kucing :
Menjadi sangat agresif, lebih sering mengeong, dan menyerang secara tiba-tiba.

3.    Kuda :
Pada mulanya digigit oleh anjing yang menderita Rabies atau hewan penular Rabies lain, kemudian kuda berjalan sempoyongan, tidak mampu menelan, sulit berjalan, lemah, kelumpuhan, menyerang dan menggigit.

4.    Sapi :
Sapi pada mulanya digigit oleh anjing yang menderita Rabies atau hewan penular Rabies lain, kemudian sapi menunjukkan gejala melenguh keras, banyak mengeluarkan air liur, tercekik, menyerang, eperti menghirup angina, tidak dapat menelan, lemah, sulit berjalan, kelumpuhan.

5.    Domba dan Kambing
Awalnya digigit oleh anjing yang menderita Rabies atau hewan penular Rabies lain, kemudian kambing/domba sering mengembik, kaki belakang lamah, sulit berjalan, menyerang, melakukan aktifitas seksual berlebihan, mengais-ngais, menggigit ekor dan putting dan membenturkan kepalanya ke dinding/tembok.

6.    Babi :
Awalnya babi digigit oleh anjing, kemudian babi brsifat menyerang, menggigit secara ganas/liar.

7.    Keledai :
Pada mulanya keledai digigit oleh anjing, kemudian keledai suka menggigit dan menyerang.

8.    Binatang liar :
Tampak jinak, memasuki rumah dan halaman, binatang malam tampak sering terlihat di siang hari, menyarang manusia dan benda apapun secara tiba-tiba, terjadi kelumpuhan.

4.6.3.    Tanda Rabies pada Manusia :

-    Untuk mengetahui tanda-tanda Rabies pada manusia, yang pertama harus diperhatikan adalah riwayat gigitan oleh hewan seperti anjing atau hewan penular Rabies (HPR) lainnya.
-    Pada manusia stadium permulaan sulit diketahui, biasanya didahului dengan sakit kepala, lesu, mula, nafsu makan menurun, gugup dan nyaeri tekan pada luka bekas gigitan.
-    Pada stadium lebih lanjut :
•    Air liur dan air mata keluar secara berlebihan
•    Peka terhadap sinar, suara yang keras dan angina yang kencang
•    Ciri khas dari penderita Rabies adalah rasa takut yang berlebihan terhadap air (hydrophobia)
•    Kejang-kejang dan disusul dengan kelumpuhan
•    Pada umumnya penderita meninggal 4 – 6 hari kemudian setelah gejala/tanda-tanda di atas timbul
4.7.    Patologi

Perubahan umumnya terjadi di susunan syaraf pusat. Pada selaput otak tampak padat dan biasanya ditemukan adanya oedema. Pada hewan yang terkena Rabies apabila dibuka di daerah perut biasanya ditemukan benda asing seperrti kayu, batu atau sepotong logam. Sedangkan dilihat di bawah mikroskop akan ditemukan cytoplasmic inclusion bodies (negri bodies) pada sel-sel syaraf. Pada umumnya banyak ditemukan di dalam hippocampus tetapi kadang-kadang juga ditemukan di ganglia.

5.    Diagnosa

Rabies dapat didiagnosa melalui tanda-tanda klinis pada hewan yaqng terjadi di lapangan dan melalui pemeriksaan laboratoris dengan memeriksa spesimen.

5.1.    Diagnosa Lapangan
Untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi, cara yang paling tepat adalah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
-    Anjing yang menggigit harus ditangkap dan diobservasi
-    Riwayat penggigitan, ada tidaknya provokasi
-    Jumlah penderita gigitan

5.2.    Diagnosa Laboratorium
Cara yang paling sederhana untuk menentukan Rabies secara laboratorium adalah dengan menemukan Negri bodies (typical inclusion bodies) pada preparat ulas jaringan otak (hypocampus) yang telah diwarnai dengan pewarnaan Sellers.
Kadang-kadang negri bodies tidak terdeteksi, karena itu perlu dilakukan ioculasi jaringan otak pada tikus putih. Hasilnya baru diketahui setelah 21 hari, dimana tikus tersebut mati dan jaringan otaknya kemudian diperiksa dengan metoda Sellers sebagaimana di atas.
Metoda pemeriksaan yang lebih canggih untuk mendiagnosa Rabies adalah dengan Flourescence Antibody Test (FAT). Dengan Methoda FAT hasilnya akurat dan cepat, sedangkan preparat yang diperlukan untuk pembuatan FAT bisa yang masih segar, beku atau spesimen dalam glycerol. FAT juga dapat mendeteksi virus Rabies yang berasal dari preparat kelenjar ludah (salivary glands).
Pengiriman sampel untuk pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan sebagai berikut :
-    Kepala anjing mati dikirimkan ke laboratorium (sebaiknya dlam keadaan dingin, di dalam es).
-    Setengah dari belahan otak dalam formalin 10% dan separuh bagian otak lainnya dalam larutan glycerin 50% dapat pula dikirim ke laboratorium.
-    Jika ada tenaga lapangan yang terampil dapat mengirim touch preparat darim otak (hypocampus) ke laboratorium.

6.    Prinsip Pengendalian dan pemberantasan 

6.1.    Prinsip Dasar
Rabies adalah penyakit daftar B pada Office International des Epizooties (OIE) yang penting dari aspek sosio-ekonomi dan kesehatan masyarakat. Kebijakan memberantas Rabies dilaksanakan dengan alasan utama untuk perlindungan kehidupan manusia dan mencegah penyebaran ke hewan lokal dan satwa liar. Hal ini dapatdicapai dengan menjalankan gabungan atau kombinasi strategi di di bawah ini :
a.    Karantina dan pengawasan lalu-lintas terhadap hewan penular penyakit.
b.    Pemusnahan hewan tertular dan hewan yang kontak untuk mencegah sumber virus Rabies yang paling berbahaya.
c.    Vaksinasi semua hewan yang dipelihara di daerah tertular untuk melindungi hewan terhadap infeksi dan mengurangi kontak terhadapa manusia.
d.    Penelusuran dan surveillans untuk menentukan sumber penularan dan arah pembebasan dari penyakit.
e.    Kampanye peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) untuk memfasilitasi kerjasama masyarakat terutama dari pemilik hewan dan komunitas yang terkait.

6.2.    Metoda Pencegahan Penyebaran dan Eliminasi Agen Penyebab
Secara alamiah metoda awal untuk mencegah penyebaran Rabies dan eliminasi agen penyebab, adalah dengan cara sedapat mungkin menghindari gigitan, baik dari najing pelihara apalagi gigitan anjing liar atau yang diliarkan. Pendekatan ini terutama harus diterapkan pada anak-anak dan remaja yang berpotensi mendapat serangan gigitan. Mengurangi atau meniadakan  tempat-tempat yang potensial untuk berkumpul dan bertemunya anjing, sekaligus akan mengurangi atau meniadakan kesempatan kontak antar anjing.
Di lapangan sasaran pemberantasan ditujukan terhadap anjing-anjing atau Hewan Penular Rabies (HPR) yang tidak diketahui status vaksinasinya, baik anjing peliharaan maupun anjing liar.

6.3.    Tindakan Karantina dan Pengawasan Lalu-Lintas
Luas daerah rawan (DR) bergantung kepada faktor seperti jumlah dan spesies hewan tertular dan hewan kontak, lokasi geografis, lalu-lintas anjing dan HPR lainnya yang diketahui maupun yang tidak terawasi, resiko terhadap manusia dan kemungkinan pendedahan terhadap satwa liar. Arus lalu-lintas yang tidak terawasi adalah aspek kritis bagi pengendalian Rabies di daerah. Dalam skala praktis di lapangan, daerah (bisa desa, kecamatan, kabupaten) yang bersinggungan/berbatasan dengan daerah tertular/wabah dianggap sebagai Daerah Rawan.
Hewan kesayangan yang dipelihara harus tetap tinggal di dalam rumah sampai keadaan darurat dinyatakan berlalu, dan lalu-lintas anjing dan kucing ke wilayah lain hanya diizinkan oleh pejabat yang berwenang. Keadaan daarurat harus dinyatakan tetap berlaku sampai paling tidak selama masa inkubasi (6 bulan menurut ketentuan OIE) setelah berakhirnya program vaksinasi di DR atau kasus Rabies terakhir.


6.3.1.    Hewan Tertular
Setiap anjing dan HPR yang menggigit harus dianggap sebagai hewan tertular atau tersangka Rabies. Tindakan observasi selama 10 – 14 hari harus diterapkan. Apabila hasil observasi negatif, pemusnahan pasca observasi dapat dilaksanakan berdasarkan kondisi-kondisi tertentu seperti atas permintaan pemilik atau kondisi anjing sudah tidak layak untuk dipelihara lebih lanjut. Hewan seperti sapi, kerbau, domba, kambing dan kuda bukan ancaman bagi penyebaran Rabies (walaupun pada manusia masih tetap menjadi resiko).
Apabila ada bukti yang meyakinkan (laboratoris) bahwa di suatu tempat terjadi wabah Rabies, maka langkah tindakan yang sistematis untuk menanggulangi wabah tersebut harus segera dijalankan, melalui tahapan-tahapan KIAT VETINDO.
Semua anjing dan HPR lain yang berada di wilayah administratif daerah bersangkutan dinyatakan sebagai hewan tertular Rabies yang sah dijadikan sasaran eliminasi. Hewan yang masuk dari luar ke dalam daerah wabah, terutama yang masuk secara ilegal dapat  pula menjadi target pemusnahan. Pemusnahan dilakukan terutama terhadap anjing, kucing dan kera yang mempunyai potensi sangat besar dalam menularkan dan menyebarkan Rabies.

6.3.2.    Hewan Kontak
Hewan-hewan yang kontak dengan penderita Rabies bisa saja menimbulkan masalah yang lebih besar daripada hewan tertular. Tanda-tanda klinis dari hewan tertular dapat terlihat setelah beberapa jam, beberapa hari, satu minggu atau paling lama dua minggu. Meskipun demikian inkubasi penyakit tersebut dapat sampai berbulan-bulan.
Oleh karena itu tindakan karantina untuk memudahkan observasi, baik untuk hewan-hewan yang kontak dengan penderita Rabies maupun anjing atau HPR lain yang menggigit, merupakan prosedur yang harus ditempuh sampai diperoleh kepastian bahwa hewan tersebut bebas Rabies. Pada dasarnya hewan-hewan yang kontak dengan penderita Rabies maupun anjing yang menggigit sama sekali tidak boleh dibunuh sebelum hasil observasi dikeluarkan. 

6.3.3.    Tindakan Terhadap Anjing Yang Menggigit
Anjing yang menggigit di daerah wabah dianggap telah tertular sehingga harus ditangkap dan dibunuh. Khususnya kalau anjing itu anjing liar atau diliarkan. Kepala atau otak langsung dikirim ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi jiwa manusia dan sekaligus mengurangi korban. Sedangkan kalau anjing tersebut berpemilik perlu dilihat catatan atau informasi mengenai vaksinasinya.
Apabila anjing ternyata telah divaksin maka prosedur observasi selama 10 – 14 hari harus dilaksanakan. Sebaliknya kalau anjing tersebut belum divaksin maka anjing harus dibunuh, selanjutnya kepala atau otaknya dikirim ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa.

7.    Pengendalian dan Pemberantasan Melalui Metoda Lab.
Di masa lalu Pengendalian dan Pemberantasan Rabies dilakukan melalui kegiatan vaksinasi dan eliminasi, dengan cara membagi rata jumlah vaksin dan strycnine ke semua wilayah tingkat dua.
Pola semacam ini telah berlangsung lama dan sekarangpun mungkin masih banyak diterapkan di beberapa wilayah/daerah Rabies di Indonesia. Sistem membagi rata alokasi vaksin dan strycnine ke semua daerah berdasarkan kajian yang cukup lama dianggpa tidak dapat menyelesaikan masalah Rabies secara tuntas. Hal ini disebabkan sasaran/target program menjadi tidak fokus, tidak spesifik, tidak berdaya guna dan tidak berhasil guna yang pada akhirnya kasus tetap muncul.
Pada saat ini Pengendalian dan Pembenrantasan Rabies harus dilaksanakan melalui Local area Specific Problem Solving (LAS) – penanganan Rabies melalui pendekatan spesifik wilayah (lokal). Pada prinsipnya Metoda LAS terdiri atas ketentuan-ketentuan spesifik dalam hal-hal sebagai berikut :

7.1.    Lokasi
Hanya di daerah-daerah yangt terjadi kasus atau wabah yang menjadi pusat (focus) kegiatan vaksinasi, ditambah daerah-daerah lainnya yang berbatasan langsung dengan daerah kasus. Sedangkan di luar dari daerah tersebut (tertular dan terancam) kegiatan lebih ditekankan pada pengawasan lalu-lintas hewan rentan Rabies secara ketat dan pembentukan “Sabuk Kebal” melalui kegiatan vaksinasi di sepanjang perbatasan dengan daerah terancam.

7.2.    Perkembangan Kasus Rabies di Jawa Barat

7.3.    Populasi
Populasi yang menjadi sasaran/target vaksinasi dan eliminasi adalah seluruh hewan rentan Rabies/HPR khususnya anjing yang berada hanya di lokasi sebagaimana tersebut pada butir 1. Karena itu penghitungan populasi anjing harus dilakukan dengan betul dan akurat jangan sampai ada anjing yang tidak terdeteksi.

7.4.    Tindakan
7.4.1.    Vaksinasi
Vaksinasi dilaksanakan terhadap semua anjing peliharaan di daerah kasus/tertular/wabah dengan radius 10 km dari titik awal kejadian penggigitan. Pelaksanaan vaksinasi dimulai dari titik tertular menuju ke arah titik awal kejadian penggigitan (berlawanan dengan arah penyebaran). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah atau membendung agar penyebaran Rabies tidak meluas. Pelaksanaan vaksinasi sedapat-dapatnya dilaksanakan secara berkelompok di suatu tempat yang telah ditentukan. Namun vaksinasi dari rumah ke rumah dapat pula dilaksanakan, sesuai dengan kondisi setempat.

7.4.2.    Eliminasi
Terhadap semua anjing liar atau anjing yang diliarkan dilakukan eliminasi total. Pelaksanaannya dilakukan dengan memberikan Strycnine dengan dosis 0,250 mg/ekor. Namun untuk eliminasi dapat pula dilakukan dengan cara-cara lain seperti dengan jerat atau teknik-teknik yang mungkin biasa dilakukan di daerah setempat masing-masing. Kegiatan eliminasi total seluruh anjing liar di wilayah administratif pemerintah terdepan (desa), dimaksudkan untuk membebaskan desa dari keberadaan anjing liar selama-lamanya harus menjadi kegiatan kontinyu sepanjang tahun. Jangan sampai anjing liar baru terdeteksi setelah menggigit korban.

7.4.3.    Sosialisasi
Sosialisasi merupakan kegiatan awal sebelum pelaksanaan vaksinasi dan eliminasi (± 2 minggu sebelum pelaksanaan kegiatan). Kegiatan ini dimaksudkan untuk menciptakan prakondisi yang kondusif agar kegiatan vaksinasi dan eliminasi berjalan dengan baik sesuai rencana. Di samping teknik-teknik yang sudah baku melalui kegiatan penyuluhan dan penerangan melalui berbagai media, teknik-teknik dan cara-cara lokal spesifik untuk menggugah kesadaran masyarakat, dapat pula dilakukan oleh daerah setempat masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.