Aku hanya terpaksa menikahinya. TERPAKSA! Terpaksa karena didesak oleh orang tuaku. Didesak oleh norma yang ada di sekitarku. Hampir enam tahun aku menikah dengannya namun belum di karunia anak. Bukan karena aku mandul. Bukan juga karena dia mandul.
Jadi aku menikah bukan karena dasar cinta. Istriku juga merupakan pilihan ibuku sendiri. Aku hanya pasrah.
Sebelum menikah, aku sempat memeriksa sperma aku ke dokter dan tidak ada masalah. Demikian juga dengan istriku. Rahimnya normal. Menstruasinya juga teratur. Jadi apa yang salah?
Jika ada yang bertanya, “kapan nih punya momongan?” Aku hanya tersenyum. Ah, andai saja mereka tahu sebenarnya.
Sejak lima tahun yang lalu, aku juga punya kebiasaan yang baru. Aku tidak pernah buang air kecil di urinal. Kebiasaan itu berlangsung sampai saat ini. Aku lebih memilih masuk ke kamar mandi. Lebih aman buang air kecil di dalam ruangan sempit yang tidak akan ada lihat isi celanaku.
Bukan karena masalah ukuran penisku. Bukan karena terlalu kecil atau terlalu besar. Tetap aku punya alasan tersendiri kenapa setiap kali aku buang air kecil tidak di urinal.
Lima tahun yang lalu, istriku memotong kemaluanku setelah menangkap basah aku bercinta dengan seorang pria.
Jadi sudah tahu, alasan kenapa kalau aku menikah dengan rasa terpaksa? Alasan kenapa aku tidak bisa punya momongan dan setiap buang air tidak pernah di urinal. Tapi aku tidak menyesal malah bersyukur karena punyaku sekarang mirip seperti milik istriku. Jadi aku tidak akan merasakan sakit lagi kalau bercinta dengan kekasih gayku. Malah dia makin sayang sama aku.
*****
Setiap kali istriku bertemu dengan teman-temannya, pasti ujung-ujungnya bergosip. Mungkin itu yang dinamakan naluri wanita. Seperti siang ini, dia dan beberapa teman nongkrong di salah satu kafe di sebuah mal.
“Tau ngga jeng, suami aku itu loh. Kayak Ariel!” ucap Lydia.
“Ariel yang lagi ditahan gara-gara video porno mirip artis itu?” tanya istriku.
“Iya.”
“Apanya yang mirip?” kini Renata yang bertanya.
“Tau kan kalo video Ariel sama si Luna Cuma beberapa menit. Suami aku juga kalau main cuma sebentar.”
“Ow…” terdengar suara kompak aku dan ibu-ibu yang lain.
Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, mereka masih mengeluhkan sikap suami mereka yang tidak lagi segairah dulu. Atau curiga kalau suami mereka main dengan perempuan lain atau punya wanita simpanan.
Sementara istriku hanya tersenyum dan diam. Paling kalau mereka minta saran dengannya, dia cuma bilang, “sabar ya!” atau “dinikmati aja ya”.
Dia tidak perlu kuatir dan jadi bahan celaan. Dia tidak perlu kuatir kalau aku akan selingkuh dengan wanita lain. Orang-orang hanya berpikir kalau aku tipe suami yang setia.
Sejak dia memotong kemaluanku, dia bisa bebas menikmati dunianya. Dia bisa menjadi dirinya sendiri sama seperti aku. Dulu, ketika dia menikah denganku karena tidak mau dibilang perawan tua. DIa memang tidak bisa pernah lagi bercinta dengan aku. Tapi dia bisa merasakan orgasme. Kok bisa? Karena dia lesbian. Setelah memotong kemaluanku dan otomatis tidak lagi mendapat kebutuhan biologis maka dia memutuskan menjadi lesbian. Meski dia sering di juluki “si mandul”, sama seperti diriku. Baginya ngga masalah. Asalkan dia menikmati hidupnya.
Kami menikamti dunia kami karena nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada lagi yang bisa diperbaiki. Kami tetap bertahan dengan status sebagai suami-istri untuk menutupi dunia kami yang belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat.
Aku hanya ingin katakan, jangan ambil keputusan apa pun dalam kondisi emosi. Ambillah keputusan dalam keadaan tenang. Andai saja aku diberi kesempatan berubah maka aku tidak akan menjadi seperti ini. Namun semuanya hanya andaian yang berbalut penyesalan.
*****
source : kisahmotivasihidup.blogspot.comrepost by : tersedunia.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar