Para petani kemudian mengusulkan kepada raja, bahwa mereka akan mengusahakan suatu lapangan yang dipagar, dimana kelak kijang-kijang hasil buruan akan dikumpulkan. Dengan jalan demikian maka para petani tidak usah membuang waktu dengan sia-sia.
Raja setuju usul petani tersebut, maka kijang-kijang dari hutan dikumpulkan pada satu tempat. Tiap-tiap hari raja datang ke lapangan tersebut untuk memburu dan membunuh seekor kijang. Tentu saja tiap-tiap hari semua kijang di lapangan itu merasa gelisah apabila raja datang dengan panahnya. Maka pemimpin mereka, seekor kijang kencana, datang menghadap raja dengan usul, agar tiap-tiap hari raja mengambil saja seekor kijang untuk dibunuh di dapur istana. Dengan cara demikian maka kijang-kijang di lapangan tidak lagi menyaksikan siksaan terhadap kawan mereka. Raja setuju dan tiap-tiap hari seekor kijang diambil dibawa ke dapur istana untuk disembelih di sana.
Pada suatu hari jatuh giliran pada kijang yang sedang mengandung, yang dalam waktu singkat akan melahirkan anaknya. Kijang tersebut menghadap pimpinannya, kijang kencana, untuk meminta penundaan waktu, sampai anak yang dikandungnya lahir dan cukup kuat untuk hidup sendiri. Kijang kencana dapat menyetujui permintaan itu, dan sebagai gantinya ia menunjuk dirinya sendiri.
Ketika raja mendengar hal ini, ia sangat kagum dan karenanya ingin mengetahui apakah yang mendorong kijang kencana mau mengorbankan diri sendiri; maka dipanggilnya kijang kencana menghadap.
Kijang kencana tatkala ditanya menjelaskan bahwa soal pengorbanan memang jadi pokok kewajiban tiap-tiap makhluk hidup dalam masyarakat masing-masing. "Akan tetapi, antara pengorbanan-pengorbanan yang dilakukan untuk sesama hidup, tidak ada yang dapat mengimbangi pengorbanan seorang ibu untuk anaknya. Seperti cinta seorang ibu kepada anaknya dan dengan senang hati mengorbankan segala-galanya dengan penuh cinta kasih, demikian pula O Sri Baginda, hendaknya tuan memimpin dan melindungi rakyat tuan".
Sri baginda raja merasa terharu dan tergugah hatinya, sehingga sejak hari itu beliau berjanji tidak akan memakan daging kijang lagi. Kemudian raja memerintahkan agar semua kijang di lapangan dilepas kembali ke hutan. Kijang kencana mengajukan usul lagi: "Apa manfaatnya ya Baginda raja, para kijang dilepas kembali ke hutan, jika jiwa mereka belum terjamin keselamatannya?"
Maka raja memerintahkan kepada segenap rakyat di negeri itu untuk tidak membunuh binatang. Atas perintah itu maka para petani mengajukan keberatannya, karena khawatir tanaman mereka dapat dirusak oleh binatang-binatang. Berdasarkan keputusan jalan tengah, maka petani diharuskan membuat pagar bagi tanaman mereka. Di luar pagar itu binatang tidak akan diganggu, tetapi binatang-binatang juga tidak dapat mengganggu tanaman milik petani di dalam pagar.
Kesimpulan:
Kita hidup dalam masyarakat bersama-sama dengan manusia yang lain. Kita tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan masyarakat, darimana kita merupakan salah satu anggotanya. Untuk sementara memang kita dapat melepaskan diri dari lingkungan masyarakat dengan bertapa atau istirahat, tetapi tidak lepas dari masyarakat hidup kita, baik berupa hak maupun kewajiban-kewajiban terhadap sesama.
Kewajiban terpenting ialah didasarkan atas kesadaran, bahwa masyarakat itu bukan monopoli kita sendiri, bukan hak milik kita sendiri, bahkan sebaliknya kita menjadi hak milik masyarakat.
Dari kesadaran itu timbul kewajiban kita yang pertama: menolong sesama manusia dalam masyarakat. Pertolongan ini dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk dan corak ; misalnya dokter menolong orang sakit, guru mendidik anak dan sebagainya. Pendek kata, segala pertolongan merupakan pengorbanan dari pihak yang memberikan, pengorbanan berupa waktu, uang atau jenis pertolongan lain pada kesempatan yang berbeda. Untuk dapat memberikan pertolongan kepada sesama manusia, syarat utama adalah bahwa baik jasmani maupun jiwa batinnya harus kuat dan sehat. Orang yang sakit tidak mungkin menolong orang lain.
Agama Buddha melarang orang menyiksa badannya sendiri. Orang sakit jiwa tidak berguna untuk menolong orang lain, maka jiwa harus pula dipelihara dengan baik dengan selalu menunjukkan jiwa itu ke jurusan ke atas (jurusan zenith). Apakah artinya? Manusia merupakan dwitunggal. Di satu pihak ia berdiri sebagai anggota masyarakat, di lain pihak ia merupakan suatu perseorangan yang mempunyai jiwa dan pikiran bebas.
Jika jiwa dan pikiran ini dikotori dengan, misalnya membaca buku-buku yang membahayakan jiwa dan pikiran, maka jiwa dan pikiran ditarik ke bawah, ditarik ke jurusan bumi. Maka di samping kaki menjurus ke dunia, juga kepala berada diantara kaki. Manusia yang demikian ini, jika akan menolong masyarakat, justru merupakan racun baginya. Mengapa? Karena ia selalu akan mementingkan segala sesuatu yang mempunyai hubungan erat dengan dunia, harta benda, uang dan lain sebagainya.
Memikirkan soal dan masalah-masalah memang tidak dilarang oleh agama Buddha, bahkan hal itu dianjurkan asalkan jiwa dan pikiran menuju jurusan atas, ke jurusan zenith, yakni bahwa kita selalu sadar bahwa kekayaan-kekayaan duniawi berharga, namun hanya untuk sementara waktu dan tidak untuk selamanya.
Tegasnya, segala kekayaan duniawi tidak dapat digunakan lagi jika kita sudah meninggal dunia, kecuali, jika dalam kehidupan kita, kita gunakan kekayaan-kekayaan itu untuk cita-cita yang mulia dan tinggi.
Baru, jika baik badan kasar maupun jiwa, terjamin dengan benar maka akan bermanfaatlah pertolongan manusia itu dalam masyarakat. Dalam hal ini, tepatlah istilah pengorbanan untuk sesama manusia, yang tidak bersifat sebagai suatu pemborosan. Contoh yang mulia menegenai pengorbanan yang diucapkan oleh Sang Buddha, ialah pengorbanan sang ibu demi keselamatan dan kepentingan anaknya.
(Sumber : Aneka Cerita Buddhis 1, dikutip dari Majalah Buddhis Indonesia)
Oleh : Artikel Buddhis
repost by : tersedunia.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar