Dia adalah seorang imam, ulama, hafizh, syaikh Islam. Namanya adalah Abu Al Qasim Ismail bin Muhammad bin Al Fadhl Al Qurasyi At-Taimi Ath-Thalhi Al Asbahani. Dia dijuluki Qiwam As-Sunnah (penopang Sunnah).
Dia lahir pada tahun 457 H dan meninggal pada tahun 535 H.
Ibunya adalah keturunan Thalhah bin Ubaidillah dari suku At-Taimi yang merupakan salah seorang sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga.
Abu Musa berkata, “Aku tak menemukan seorang pun yang mencelanya baik dengan ucapan maupun perbuatan dan tak seorang pun yang memusuhinya karena Allah selalu menolongnya. Dia orang yang bersih jiwanya dari segala ketamakan. Dia tidak mencari perhatian para penguasa, tidak juga orang yang berhubungan dengan mereka. Dia mengosongkan rumah kebanggaannya bagi ahli ilmu. Meskipun seseorang memberinya dunia dan seisinya, itu tak berarti apa-apa baginya. Dia menyelenggarakan 3500 majlis. Dia mengajar di luar kepala.
Al Hafizh Yahya bin Mundah berkata, “Abu Al Qasim bagus akidahnya, lurus prilakunya dan sedikit berbicara. Pada masanya tidak ada orang seperti dia.”
Telah sampai kepada kita cerita tentang ibadah, wirid dan tahajjud Abu Al Qasim. Abu Musa berkata, “Aku mendengar orang yang bercerita tentang Abu Al Qasim pada hari ketika putranya meninggal. Dia datang untuk bertakziyah. Pada hari itu, Abu Al Qasim selalu memperbarui wudhunya hingga tiga puluh kali. Dalam setiap wudhu, dia melakukan shalat dua rakaat.”
Muhammad bin Nashir Al Hafizh berkata, “Abu Ja’far Muhammad bin Al Hasan bin Ismail Al Hafizh (saudaraku) menceritakan kepada kami, Ahmad Al Aswari, orang yang memandikan pamanku –dia tsiqah- menceritakan kepadaku bahwasanya dia ingin menyingkirkan sobekan kain dari auratnya ketika memandikan. Dia berkata, “Ismail menarik kain itu dengan tangannya dan menutupi kemaluannya. Orang yang memandikan berkata, ‘Hidup setelah mati’.”
Abu Al Qasim At-Taimi ditanya, “Apakah boleh mengatakan bahwa Allah mempunyai batas atau tidak? Apakah perbedaan pendapat ini terjadi pada ulama salaf?” dia menjawab, “Ini permasalahan yang tidak ingin aku jawab karena ketidakjelasannya dan karena minimnya pengetahuanku akan tujuan penanya. Tapi akan aku tunjukkan ajaran yang telah aku terima. Para ulama menafsirkan makna batasan (had) dengan penafsiran yang berbeda-beda yang intinya bahwa batasan setiap sesuatu adalah intisari yang membedakan dengan yang lain. Maka tujuan seseorang berkata ‘Allah tidak mempunyai batasan yang artinya semua ilmu tidak dapat mengetahui-Nya’ adalah benar. Dan jika yang dia maksud adalah Ilmu Allah tidak dapat mengetahui Dzat-Nya, maka dia sesat. Atau jika tujuannya adalah untuk mengatakan bahwa Dzat Allah ada di setiap tempat, dia juga sesat.”
Aku katakan, “Yang benar adalah tidak membahas tentang itu semua, jika tak ada nash yang membahas itu. Jika kita asumsikan bahwa makna itu benar, maka kita tidak seharusnya mengucapkan sesuatu yang belum diijinkan Allah khawatir jika bid’ah itu masuk ke dalam hati. Semoga Allah menjaga iman kita.”
Abu Musa Al Madini berkata, “Aku mendengar At-Taimi berkata, ‘Ibnu Khuzaimah salah dalam menafsirkan shurah (gambar). Dia tidak dicela karena ucapannya, tidak juga diikuti ucapannya tersebut’.”
Abu Musa berkata, “Dia mengisyaratkan bahwa sedikit imam yang tidak pernah bersalah. Jika seorang imam ditinggalkan karena kesalahannya, maka akan banyak imam yang akan ditinggalkan. Dan ini tidak seharusnya dilakukan.”--------------------------
siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com
source : cara-global.blogspot.com
repost by : tersedunia.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar